Review: "Kapan Kawin?" - Tuntutan Sosial-Kultur Masyarakat Indonesia
Minna-san Konnichiwa!
Dari post-post sebelumnya, kita udah tau nih kalau akhir-akhir ini tekanan masyarakat Jepang kepada wanita untuk menikah pada umur tertentu telah melemah, kesadaran wanita Jepang untuk menikah pada umur layak (25 tahun) pun juga semakin rendah karena adanya fenomena Hikonka.
Bagaimana dengan wanita Indonesia?
Seperti yang kita tahu, Negara Indonesia memiliki paradigma atau cara pandang yang berbeda dengan Jepang. Menurut seorang sosiolog, Dr. Ida Ruwaida beranggapan bahwa di Indonesia, status pernikahan wanita akan selalu dikaitkan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat lokal, entah di perkotaan ataupun di desa. Dan bukan hanya pandangan masyarakat saja yang mempengaruhi status pernikahan dari seorang wanita Indonesia. tetapi budaya suku dan agama pun juga ikut mempengaruhi. Pernikahan telah menjadi sebuah "kewajiban" di kalangan masyarakat. Karena itulah banyak orang kerap menjadi buah bibir masyarakat ketika belum menikah di saat umurnya sudah diatas 25 tahun, terutama bagi para wanita.
Tapi, sebelum kita bahas lebih lanjut, pada kesempatan kali ini Max-kun mau kasih review lagi nih dari film "Kapan Kawin?" yang dirilis pada tahun 2015 ini. Di dalam film ini kita dapat melihat sekilas contoh tentang budaya masyarakat Indonesia yang menjadikan pernikahan sebagai sebuah tuntutan sosial-kultur di kalangan masyarakat.
Nah, ini menarik, Minna-san. Yuk langsung aja kita simak!
Dari post-post sebelumnya, kita udah tau nih kalau akhir-akhir ini tekanan masyarakat Jepang kepada wanita untuk menikah pada umur tertentu telah melemah, kesadaran wanita Jepang untuk menikah pada umur layak (25 tahun) pun juga semakin rendah karena adanya fenomena Hikonka.
Bagaimana dengan wanita Indonesia?
Seperti yang kita tahu, Negara Indonesia memiliki paradigma atau cara pandang yang berbeda dengan Jepang. Menurut seorang sosiolog, Dr. Ida Ruwaida beranggapan bahwa di Indonesia, status pernikahan wanita akan selalu dikaitkan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat lokal, entah di perkotaan ataupun di desa. Dan bukan hanya pandangan masyarakat saja yang mempengaruhi status pernikahan dari seorang wanita Indonesia. tetapi budaya suku dan agama pun juga ikut mempengaruhi. Pernikahan telah menjadi sebuah "kewajiban" di kalangan masyarakat. Karena itulah banyak orang kerap menjadi buah bibir masyarakat ketika belum menikah di saat umurnya sudah diatas 25 tahun, terutama bagi para wanita.
Tapi, sebelum kita bahas lebih lanjut, pada kesempatan kali ini Max-kun mau kasih review lagi nih dari film "Kapan Kawin?" yang dirilis pada tahun 2015 ini. Di dalam film ini kita dapat melihat sekilas contoh tentang budaya masyarakat Indonesia yang menjadikan pernikahan sebagai sebuah tuntutan sosial-kultur di kalangan masyarakat.
Nah, ini menarik, Minna-san. Yuk langsung aja kita simak!
Sama seperti judulnya, bisa dibilang pertanyaan “kapan kawin?” itu adalah salah satu pertanyaan basa-basi yang paling menyebalkan terutama bagi orang yang umurnya udah masuk rata-rata usia yang matang untuk menikah tetapi kebetulan belum punya pasangan atau belum menikah. Semakin tua usianya, semakin sering pertanyaan tersebut
dilontarkan dan nada dari sang penanya semakin tidak enak untuk di dengar. Hal inilah yang menjadi tema cerita dari film ini.
Film yang disutradarai Ody C. Harahap ini
mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis yang bernama Dinda atau kerap dipanggil Didi yang sukses di kariernya sebagai General Manager di salah satu Hotel bintang empat di Jakarta. Tetapi Dinda selalu dianggap kurang
oleh orang tuanya, karena walaupun Dinda sudah mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, tetapi dia masih single hingga usianya yang sudah melewati 30
tahun. Bagi orang tuanya, Dinda yang masih single dan belum menikah ini adalah kegagalan mereka
sebagai orang tua.
Mungkin itu tadi sekilas sinopsis dari Film "Kapan Kawin?", Max-kun tidak ingin memberikan spoiler lebih lanjut. Tetapi Max-kun hanya ingin memberikan kesimpulan dari film ini. Intinya, ini bukan film yang ditujukan untuk menyindir atau menertawakan wanita yang belum menikah di luar sana, Ini adalah film yang menceritakan keadaan sulit yang dialami oleh wanita independen yang belum menikah di tengah masyarakat dan tradisi yang tidak menerima mereka.
Ini adalah film tentang hubungan rumit antara orang tua dan anak, tentang seberapa khawatirnya orang tua sama anaknya yang belum memiliki pasangan dan menunjukan seberapa inginnya seorang anak untuk menyenangkan orang tuanya. Dan akhirnya, film ini menunjukan tentang bagaimana tradisi masyarakat dan norma memainkan peran besar dalam hidup kita, terutama dalam menentukan kebahagiaan dan pencarian pasangan yang sempurna.
Wah.. ternyata kalau di telusuri lebih lanjut moral apa yang terkandung dari film ini, ternyata dalem juga ya, Minna-san.
Ini adalah film tentang hubungan rumit antara orang tua dan anak, tentang seberapa khawatirnya orang tua sama anaknya yang belum memiliki pasangan dan menunjukan seberapa inginnya seorang anak untuk menyenangkan orang tuanya. Dan akhirnya, film ini menunjukan tentang bagaimana tradisi masyarakat dan norma memainkan peran besar dalam hidup kita, terutama dalam menentukan kebahagiaan dan pencarian pasangan yang sempurna.
Wah.. ternyata kalau di telusuri lebih lanjut moral apa yang terkandung dari film ini, ternyata dalem juga ya, Minna-san.
Kalau menurut Max-kun, menikah memang pilihan. Sehingga yang tidak menikah tidak seharusnya mendapat sorotan negatif. Namun di Indonesia, harus diakui bahwa sebagian besar masyarakat masih menganggap pernikahan sebagai sebuah kesuksesan tertinggi, sehingga mereka yang gagal menikah di akhir usia 20 tahunan, apalagi sudah memasuki usia 30 tahunan, juga dianggap gagal dalam seluruh hidupnya..
Nah, kalau menurut Minna-san bagaimana?? Max-kun ingin tau pendapat Minna-san, nih!
Kalau ada saran/pendapat, langsung aja ya komen di bawah ini! :D
Sampai jumpa di konten berikutnya! Stay tune!
Cara pandangnya sangat berbeda sekali ya dengan di Jepang
ReplyDeleteOh ternyata begini yg di hadapi wanita indonesja
ReplyDeleteSaya sendiri, sih, agak kurang suka sama tradisi di mana amenikah itu hitungannya wajib. Belum umur 25 aja kadang orang tua kadang bercanda suruh nyari pacar, jelas maksudnya kode. Buat yang fokusnya emang bukan hubungan ke sana, rasanya candaan dan kode kayak gitu jadi memberatkan. Semoga aja seenggaknya kebiasaan kayak begini itu berubah, karena menikah atau tidak menikah, bahagia atau tidak bahagia, itu semua kembali lagi masing-masing individu.
ReplyDeletevery nice
ReplyDeleteIni bener banget sih. Kadang emg ngeselin banget antara keluarga atau temen gitu ditanya"in udh punya pacar belum,dll. Mereka nganggep hal hal kaya gini tuh nomer 1 banget lah. Tpi, klo gue sih tetep jujur sama ortu dan blg " gue musti nabung banyak dlu sebelum nikah." Karena kalau menurut gue sendiri percuma nikah tapi gue belum punya pencapaian" yg bagus.
ReplyDeleteEmang susah ya kalau kita memilih tidak menikah di Indonesia... pasti bakal didesak desak bahkan sampai dijodohkan :(
ReplyDeleteWell jujur saja, didesak dan dipaksa menikah adalah salah satu hal yang paling saya tidak suka. Urus diri sendiri saja susah banget, apalagi kalau punya istri.
ReplyDeleteKalau dari diri pribadi aku sebagai wanita, kayaknya kita juga ga bisa independen tanpa pasangan. Pasti membutuhkan pasangan untuk hidup, walaupun kadang nyebelin sih kalau ditanya uda punya pacar atau kapan nikah, tapi memang harus untuk punya pasangan, kalau ga nanti masa depan kita dengan siapa :'))
ReplyDeleteMenurut saya, pandangan yang seperti ini yang membuat populasi manusia di Indonesia meledak
ReplyDelete