Wanita Indonesia: Belenggu Peran Ganda
Minna-san Konnichiwa!
Sedikit mengulang pembahasan di post sebelumnya, Kita sudah tahu bagaimana pandangan masyarakat terhadap wanita yang belum menikah, bahwa pilihan melajang bagi seorang wanita Indonesia adalah sesuatu yang tabu dan pastinya akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Hal ini membuat para orang tua yang memiliki anak wanita yang masih single untuk 'mewanti-wanti', bahkan sampai mencarikan pasangan bagi sang anak. Ternyata status wanita dalam masyarakat lokal kita masih menjadi perdebatan yang menarik ya, Minna-san.
Minna-san, kita pasti sering mendengar adanya perdebatan mengenai wanita yang menjadi ibu rumah tangga atau menjadi wanita karier. Ada yang menilai bahwa menjadi ibu rumah tangga (murni) merupakan pekerjaan yang sangat mulia. tetapi ada juga yang menilai bahwa untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi namun tidak dapat mengaplikasikan ilmunya dan memilih menjadi ibu rumah tangga.
Ada sebuah cerita di media sosial yang menyatakan bahwa dia bangga anaknya diasuh oleh istrinya yang lulusan sarjana sebuah universitas dan fokus bekerja menjadi ibu rumah tangga. Di sisi lain, ada yang menulis sebuah cerita yang isinya jangan mendiskreditkan perempuan bekerja karena mereka mencari nafkah bagi keluarga dan rasanya ingin menangis meninggalkan anaknya pada pengasuh:(
"Namun pada wanita yang bekerja, ia akan mengalami dilema peran antara peran domestik sebagai Ibu Rumah Tangga dengan peran publik sebagai wanita karier."
Wanita harus menghadapi kenyataan dimana pada saat pulang ke rumah sehabis pekerjaan formalnya maka ia akan mengerjakan tugas pekerjaan shift kedua, yaitu kewajibannya dalam urusan rumah tangga seperti melayani suami dan mengurus anak-anaknya. Wanita yang selalu identik dengan kata lemah, tetapi justru wanitalah yang memikul beban paling berat di kehidupan rumah tangganya.
Wanita yang bekerja di luar rumah tidak dapat fokus terhadap cita-citanya, melainkan mereka terjebak dalam dua dunia sekaligus, di dunia produktif dan rumah tangga, atau yang disebut sebagai beban ganda (double burden). Ini adalah takdir yang sangat tragis bagi wanita, bukan karena perlawanan atau ketidaksukaan akan pekerjaan rumah tangga, tetapi seorang wanita juga membutuhkan waktu untuk beristirahat.(Candaraningrum, 2014:14)
Tuntutan-tuntutan yang ada terus berkembang dan akhirnya menjadi peran kultural. Secara tidak langsung, semakin tinggi tingkat partisipasi wanita yang menikah di dunia produktif maka semakin tinggi juga beban kerja wanita pada umumnya. Wanita selalu saja dihadapkan dengan pilihan yang sulit mengenai kehidupannya, terbelenggu aturan-aturan yang secara terus-menerus menghantuinya hingga usianya senja. Termasuk, menentukan berbagai pilihan hidupnya, menjadi ibu rumah tangga atau bebas mengejar kariernya dengan beban yang lebih berat.
Yah kalau menurut Max-kun, sebagai sesama manusia kita juga seharusnya mengerti bahwa seorang wanita pun juga memliki mimpi dan cita-citanya sendiri. Max-kun rasa kita harus menghargai itu. Dan sebagai pria kita juga sudah seharusnya tidak membebankan urusan rumah tangga ke istri kita, melainkan kita membagi tugas sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat bersama. Lagi pula, seorang istri yang bekerja toh itu juga untuk menopang kehidupan keluarga. Apakah itu salah??
Bagaimana kalau menurut Minna-san? Tulis pendapat Minna-san di kolom komentar di bawah ini! :D
Semoga bermanfaat!
Sedikit mengulang pembahasan di post sebelumnya, Kita sudah tahu bagaimana pandangan masyarakat terhadap wanita yang belum menikah, bahwa pilihan melajang bagi seorang wanita Indonesia adalah sesuatu yang tabu dan pastinya akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Hal ini membuat para orang tua yang memiliki anak wanita yang masih single untuk 'mewanti-wanti', bahkan sampai mencarikan pasangan bagi sang anak. Ternyata status wanita dalam masyarakat lokal kita masih menjadi perdebatan yang menarik ya, Minna-san.
Tetapi, bagaimana ya pandangan masyarakat terhadap seorang wanita di kehidupan 'setelah' pernikahannya?
Yuk kita simak!
Yuk kita simak!
Minna-san, kita pasti sering mendengar adanya perdebatan mengenai wanita yang menjadi ibu rumah tangga atau menjadi wanita karier. Ada yang menilai bahwa menjadi ibu rumah tangga (murni) merupakan pekerjaan yang sangat mulia. tetapi ada juga yang menilai bahwa untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi namun tidak dapat mengaplikasikan ilmunya dan memilih menjadi ibu rumah tangga.
Ada sebuah cerita di media sosial yang menyatakan bahwa dia bangga anaknya diasuh oleh istrinya yang lulusan sarjana sebuah universitas dan fokus bekerja menjadi ibu rumah tangga. Di sisi lain, ada yang menulis sebuah cerita yang isinya jangan mendiskreditkan perempuan bekerja karena mereka mencari nafkah bagi keluarga dan rasanya ingin menangis meninggalkan anaknya pada pengasuh:(
Nah, perdebatan ini menggambarkan bagaimana para wanita terus saja dihadapkan pada persoalan peran kultural mengenai
"wanita yang ideal" di kalangan masyarakat bahkan di kehidupannya setelah menikah, Minna-san.
Setelah menikah, perempuan dituntut untuk mendapatkan keturunan. Tuntutan ini biasanya diikuti dengan adanya anggapan bahwa perempuan harus mengorbankan pekerjaann/kariernya dan menjadi ibu rumah tangga saja.
Setelah menikah, perempuan dituntut untuk mendapatkan keturunan. Tuntutan ini biasanya diikuti dengan adanya anggapan bahwa perempuan harus mengorbankan pekerjaann/kariernya dan menjadi ibu rumah tangga saja.
Peran kultural mengenai wanita tersebut
sebenarnya menjadi sangat bias bagi wanita. wanita seolah dipenjara oleh
kungkungan tradisi dan tidak dapat membebaskan dirinya dari beban rumah tangga bila bekerja di ranah produktif.
"Namun pada wanita yang bekerja, ia akan mengalami dilema peran antara peran domestik sebagai Ibu Rumah Tangga dengan peran publik sebagai wanita karier."
(Dr. Ida Ruwaida)
Wanita harus menghadapi kenyataan dimana pada saat pulang ke rumah sehabis pekerjaan formalnya maka ia akan mengerjakan tugas pekerjaan shift kedua, yaitu kewajibannya dalam urusan rumah tangga seperti melayani suami dan mengurus anak-anaknya. Wanita yang selalu identik dengan kata lemah, tetapi justru wanitalah yang memikul beban paling berat di kehidupan rumah tangganya.
Wanita yang bekerja di luar rumah tidak dapat fokus terhadap cita-citanya, melainkan mereka terjebak dalam dua dunia sekaligus, di dunia produktif dan rumah tangga, atau yang disebut sebagai beban ganda (double burden). Ini adalah takdir yang sangat tragis bagi wanita, bukan karena perlawanan atau ketidaksukaan akan pekerjaan rumah tangga, tetapi seorang wanita juga membutuhkan waktu untuk beristirahat.(Candaraningrum, 2014:14)
Tuntutan-tuntutan yang ada terus berkembang dan akhirnya menjadi peran kultural. Secara tidak langsung, semakin tinggi tingkat partisipasi wanita yang menikah di dunia produktif maka semakin tinggi juga beban kerja wanita pada umumnya. Wanita selalu saja dihadapkan dengan pilihan yang sulit mengenai kehidupannya, terbelenggu aturan-aturan yang secara terus-menerus menghantuinya hingga usianya senja. Termasuk, menentukan berbagai pilihan hidupnya, menjadi ibu rumah tangga atau bebas mengejar kariernya dengan beban yang lebih berat.
Yah kalau menurut Max-kun, sebagai sesama manusia kita juga seharusnya mengerti bahwa seorang wanita pun juga memliki mimpi dan cita-citanya sendiri. Max-kun rasa kita harus menghargai itu. Dan sebagai pria kita juga sudah seharusnya tidak membebankan urusan rumah tangga ke istri kita, melainkan kita membagi tugas sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat bersama. Lagi pula, seorang istri yang bekerja toh itu juga untuk menopang kehidupan keluarga. Apakah itu salah??
Bagaimana kalau menurut Minna-san? Tulis pendapat Minna-san di kolom komentar di bawah ini! :D
Semoga bermanfaat!
Saya setuju dengan pendapat Max-kun, seharusnya pekerjaan rumah dibagi rata.
ReplyDeleteDan juga agar seorang wanita bisa mewujudkan cita-citanya sendiri :D
Pernikahan adalah sebuah janji suci yang mengikat dua insan berbeda untuk saling membantu dan mengasihi sampai akhir hidup nya. Jadi untuk urusan rumah tangga ada baik nya pasangan suami istri saling bahu membahu untuk mengurus rumah tangga dan menciptakan keluarga yang harmonis,supaya tidak ada lagi anak" yang kekurangan kasih sayang. Trims,artikel yang bagus.
ReplyDeletemenurutku yang paling enak sih ya bagi bagi tugas, jadi udah buat perjanjian dari awal dan tentunya pekerjaan nya yang disukai masing pihak juga.
ReplyDeleteMax-kun kayaknya cocok jadi suami yang baik ya😆
ReplyDeleteMenurut ku memang lebih baik dibagi rata untuk tugas rumah tangga. Di Indonesia juga pun begitu, semua pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh wanita. Walaupun memang sudah tugas wanita untuk mengurus rumah tangga, tapi berat kalau dilakukan sendirian :( Mungkin dengan bantuan suami atau anak-anak, pekerjaan rumah bisa lebih ringan dan semuanya senang🙌
Waw, max-kun kayaknya cocok jadi suami idaman....kalau nggak bokis:(
ReplyDeletesaya setuju pendapat max, seharusnya pekerjaan rumah tangga dibagi rata. tapi sayang banget, di indonesia kalau suami ikut bebenah dianggap aneh.
wah, saya jadi ingin menikah sama mekskun yang sangat open-minded
ReplyDeletetapi untungnya orang tua saya gak ngebet nyuruh cari cowok hehe
kalau saya sih, mending saya tinggal di rumah dan suami yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga